Kamis, 05 Maret 2009

Antara elite, banjir dan Kotoran Sapi

Sebuah kebanggaan ketika selepas kuliah aku bisa langsung bekerja dengan predikat 'pengangguran' hanya beberapa bulan saja. Beberapa bulan masih jauh lebih baik daripada beberapa teman seangkatan yang harus menunggu waktu jauh lebih panjang dari waktu yang aku tunggu. Hal yang wajar bagiku. Karena perusahaan mana yang dengan mudah menerima seorang lulusan dari sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi yang baru mendapatkan ijin Dikti dan hanya berpredikat B saat aku sudah memasuki semester tua.
Perusahaan selalu idealis. Iklan-iklan lowongan pekerjaan di setiap eksemplar koran mensyaratkan lulusan perguruan tinggi ternama. Lalu kampusku? Kampus yang baru lahir dan bahkan tidak mempunyai jaket almamater.
Tapi saat aku tahu sebuah perusahaan sudi menerima aku bekerja di sana, itulah sebuah kebanggaan luar biasa sebagai penebus keringat yang diuapkan matahari saat aku harus berjibaku dengan beban sarjana yang aku emban.
Kebanggaan itu bernama call center. Ya, itulah pekerjaan pertamaku secara profesional: call center sebuah perusahaan Telekomunikasi baru. Walaupun melalui jalur outsource, tapi aku cukup bangga karena aku akan bisa bertahan hidup dengan keringatku sendiri. Dan yang menambah kebanggaanku adalah bahwa kantorku di lantai lima belas sebuah gedung yang berdiri di tengah kawasan elite: Lingkar Mega Kuningan.
Setidaknya bisa kubanggakan saat seseorang bertanya padaku, "Kerja dimana pung?"
Maka dengan bangga dan nada sombong, aku akan menjawab, "kerja di Axis, perusahaan GSM baru itu loh, kantornya di Mega Kuningan".

Sempurna. Luar biasa. Jawaban yang patut disombongkan walaupun ternyata aku hanya seorang call center dan melalui outsource pula.
Ah, apa peduliku. Toh mereka bisa terkagum-kagum dengan jawabanku dan menganggapku orang hebat, karena hampir tidak ada satupun warga kampungku yang bekerja kantoran di lantai lima belas. Yah, paling tinggi mereka kerja di lantai enam. Maka semakin sombonglah aku. Karena aku tahu aku ini manusia. Maka kesombongan itu luluh setiap kali aku pulang ke rumah kostku. Rumah kost sederhana yang kadang bau kotoran sapi dari peternakan sapi yang terletak beberapa meter dari rumah kostku.
Aku sempat heran dan tidak percaya sama sekali bahwa diantara rumah-rumah penduduk yang berlatar belakang gedung-gedung tinggi dan terkenal sebagai salah satu kawasan elite di Jakarta, ternyata masih ada sebuah peternakan sapi. Ajaib. Maka tak heran jika berkali-kali peternakan itu menjadi bahan liputan berita televisi.
Apalagi jika hujan. Banjir melunturkan sikap sombong bersama kotoran sapi yang dihanyutkan air banjir yang sudah hampir menghampiri rumah kostku. Baunya hampir membuatku mati. Inilah sisi lain dari kawasan elite mega kuninganku. Sebuah tempat yang dulu pernah menjadi sasaran terorist yang meluluh lantakkan hotel J.W. Marriot. Sebuah kawasan yang banyak dikuasai orang asing atau bule-bule dari duta besar negara sahabat. Sebuah tempat yang sempat meletupkan kesombonganku dan dengan sekejap meruntuhkannya tanpa ampun. Ya, mega kuninganku yang elite itu memang tidak terendam banjir, tapi rumah kost ku yang struktur tanahnya dizhalami mega kuningan yang jauh lebih tinggi membuat air hujan tumpah menggenangi perkampungan yang dilatar belakangi gedung-gedung angkuh itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar